Dari sekian banyak cerita serunya menjadi orang tua baru, mungkin "menyusui" adalah tema yang paling menarik.
Sejak Rumi berusia 5 bulan dalam kandungan, itulah pertama kali ASI saya keluar dan saya pun harus bisa menyesuaikan perubahan-perubahan pada diri saya.
Ketika Rumi lahir, secara keseluruhan bayi Rumi sehat. Saya pun bisa belajar menggendong dan menyusuinya di awal kehidupannya.
Pertama kali menyusui rasanya sakit bukan main, ketika aliran susu menjalar keluar dari salurannya sampai ke mulut mungil yang kehausan. Sementara saat itu produksi ASI saya masih sedikiiit sekali.
Alhamdulillah saya sudah belajar sebelum melahirkan, bahwa memang ASI diproduksi sesuai perkembangan kapasitas perut bayi, tergantung supply and demand. Jadi saya tidak khawatir dan tetap optimis bahwa semakin lama ASI saya akan bertambah banyak.
Disini saya merasa betapa pentingnya mencari ilmu dan mengedukasi diri sebagai "ibu baru". Supaya kita gak jadi ibu yang hanya modal ilmu "katanya-katanya" atau berdasar mitos yg beredar di lingkungan sekitar.
Tapi kala itu dokter bilang kalau minumnya kurang, dia berpotensi "kuning" dan harus dirawat lebih lama di RS. Waktu itu yang ada di pikiran kami hanya bagaimana caranya saya harus bisa menyusui Rumi lebih sering, lebih banyak. Dokter menyarankan sebaiknya disusui per 2 jam sekali, dijemur dan jangan lupa pompa ASI lalu suapi dengan cup feeder.
Bagi saya segalanya terasa baru, exciting, challenging, sekaligus melelahkan dan merepotkan. Kurang tidur, badan sakit dan ngilu jahitan pasca melahirkan normal gak dirasa demi bayi Rumi sehat. Alhamdulillah, segalanya berjalan baik-baik saja berkat dukungan suami, mama, mama mertua dan orang-orang terdekat.
Memberikan ASI (terutama yang eksklusif 6 bulan) sambil bekerja adalah tentang perjuangan dan komitmen. Banyak sahabat saya yang menyerah di tengah jalan karena berbagai hal, kebanyakan faktor kesehatan atau ASI-nya sudah gak keluar. Jadi betapa saya mensyukuri nikmat ini, Allah mencukupkan ASI saya untuk memenuhi hak Rumi.
Selama 1 tahun 6 bulan saya tidak pernah absen memompa ASI demi kebutuhan stok nutrisinya di rumah, karena waktu itu saya masih bekerja. Saya ingat setiap hari harus bawa cooler bag dan botol-botol kaca ke kantor naik KRL. Harus sembunyi-sembunyi mompa ASI di balik meja karena memang kantor saya waktu itu belum punya nursery.
Saya ingat ketika pekerjaan mengharuskan ada aktivitas outdoor seharian, saya harus tetap memanage ASIP dan hanya mengandalkan 2 balok ice cube karena gak nemu kulkas. Buru-buru pulang demi kualitas ASIP tetap terjaga.
Ketika sudah resign dari kantor dan full mengurus Rumi, tantangan paling terasa ya ketika Rumi minta menyusu di tempat-tempat umum.
Saya ingat sering harus cari tempat persembunyian untuk menyusui, karena ga semua tempat punya nursery yg proper. Paling sedih itu waktu lagi belanja bulanan di sebuah mall, Rumi rewel minta nenen, nangis tak berhenti jadi terpaksa saya ngumpet di lorong yang cukup sepi karena tokonya tutup, saya duduk melantai, menghadap tembok dan menyusuinya. Ada sih beberapa orang yg lewat, melihat, biarlah.. Saya harus pasang muka tembok demi anak. Yang penting gak ngumbar aurat. Itulah sebabnya alat bantu seperti apron menyusui tak pernah ketinggalan dibawa kemanapun.
Menginjak usia 2 tahun, kami berniat menyapih Rumi dengan metode #weaningwithlove.
Kenapa disapih?
Supaya dia lebih mandiri.
Supaya pola makannya lebih baik lagi.
Supaya gak nyusu sepanjang malam jadi pencernaannya bisa istirahat.
Supaya bisa bersosialisasi lebih baik.
Supaya bisa belajar hal baru.
Supaya kuat dan berani.
Karena ASI sudah seperti candu baginya, dikit-dikit minta nenen. Sudah bukan kebutuhan utama dan lebih kepada rasa nyaman dan ngempeng aja. Produksi ASI saya pun sudah berkurang jauh, jadi rasanya sering sakit dan sudah tidak nyaman lagi bagi saya untuk tetap menyusuinya.
Target lepas ASI di bulan Januari 2019, tapi usaha kami gagal karena hati belum mantap dan mental belum kuat menghadapi tantrumnya. Bulan Maret 2019, Rumi harus dirawat karena DBD dan akhirnya jadwal sapih pun mundur lagi.
Menjelang Ramadhan, target kami adalah Rumi sudah lepas ASI di bulan Ramadhan supaya saya bisa lebih nyaman berpuasa, Rumi juga bisa belajar mandiri.
Mengurangi frekuensi menyusu bertahap, lalu mulai benar-benar berhenti menyusuinya di tanggal 3 Mei 2019. Tantrum? Pastinya. Kami melewati malam-malam dimana dia terbangun tengah malam, ngamuk minta disusui, tapi sudah tidak saya kasih lagi. Kami terus menerus memberinya pengertian dan sounding dengan kalimat positif.
"Rumi sudah besar sayang.
Maafin Mama, kalau Rumi haus kita minum air putih atau susu ya?
Kita belajar sama-sama ya.
Rumi sudah besar, sudah gak perlu nenen lagi.
Mama sayang Rumi."
Menyusui adalah momen yang penting, krusial dan lekang dalam hati dan pikiran saya. Suka dukanya mendewasakan saya. Saya bersyukur masih diberi nikmat menyusui selama 2 tahun 4 bulan. Saya bersyukur Rumi tumbuh sehat dan ceria.
Berhenti menyusui adalah momen patah hati bukan hanya bagi Rumi, tapi bagi saya. Ini proses yang harus dijalani untuk tumbuh lebih baik lagi.
Ternyata rasanya sepedih ini, sesedih ini, melepaskan sesuatu yg bisa memberi Rumi kenyamanan selama hidupnya.
Terima kasih Rumi. Karena Rumi, Mama jadi belajar banyak tentang bagaimana menjadi seorang Ibu. Yuk kita belajar lagi hal yang baru, walaupun gak minum ASI lagi tapi seluruh jiwa raga ini akan selalu siap sedia untukmu.
Tangan ini siap menggandeng dan membelaimu..
Telinga ini siap mendengarmu..
Hati ini selalu terbuka untukmu..
Mata ini akan selalu menjagamu..
Semoga Allah selalu melindungimu, menjagamu dan menyempurnakan tumbuh kembangmu.
Mama menyusuimu karena cinta, dan Mama menyapihmu karena cinta juga.
I love you.