Wednesday, November 27, 2019

Tentang Menyusui

Dari sekian banyak cerita serunya menjadi orang tua baru, mungkin "menyusui" adalah tema yang paling menarik.

Sejak Rumi berusia 5 bulan dalam kandungan, itulah pertama kali ASI saya keluar dan saya pun harus bisa menyesuaikan perubahan-perubahan pada diri saya.

Ketika Rumi lahir, secara keseluruhan bayi Rumi sehat. Saya pun bisa belajar menggendong dan menyusuinya di awal kehidupannya.

Pertama kali menyusui rasanya sakit bukan main, ketika aliran susu menjalar keluar dari salurannya sampai ke mulut mungil yang kehausan. Sementara saat itu produksi ASI saya masih sedikiiit sekali.

Alhamdulillah saya sudah belajar sebelum melahirkan, bahwa memang ASI diproduksi sesuai perkembangan kapasitas perut bayi, tergantung supply and demand. Jadi saya tidak khawatir dan tetap optimis bahwa semakin lama ASI saya akan bertambah banyak.

Disini saya merasa betapa pentingnya mencari ilmu dan mengedukasi diri sebagai "ibu baru". Supaya kita gak jadi ibu yang hanya modal ilmu "katanya-katanya" atau berdasar mitos yg beredar di lingkungan sekitar.

Tapi kala itu dokter bilang kalau minumnya kurang, dia berpotensi "kuning" dan harus dirawat lebih lama di RS. Waktu itu yang ada di pikiran kami hanya bagaimana caranya saya harus bisa menyusui Rumi lebih sering, lebih banyak. Dokter menyarankan sebaiknya disusui per 2 jam sekali, dijemur dan jangan lupa pompa ASI lalu suapi dengan cup feeder.

Bagi saya segalanya terasa baru, exciting, challenging, sekaligus melelahkan dan merepotkan. Kurang tidur, badan sakit dan ngilu jahitan pasca melahirkan normal gak dirasa demi bayi Rumi sehat. Alhamdulillah, segalanya berjalan baik-baik saja berkat dukungan suami, mama, mama mertua dan orang-orang terdekat.

Memberikan ASI (terutama yang eksklusif 6 bulan) sambil bekerja adalah tentang perjuangan dan komitmen. Banyak sahabat saya yang menyerah di tengah jalan karena berbagai hal, kebanyakan faktor kesehatan atau ASI-nya sudah gak keluar. Jadi betapa saya mensyukuri nikmat ini, Allah mencukupkan ASI saya untuk memenuhi hak Rumi.

Selama 1 tahun 6 bulan saya tidak pernah absen memompa ASI demi kebutuhan stok nutrisinya di rumah, karena waktu itu saya masih bekerja. Saya ingat setiap hari harus bawa cooler bag dan botol-botol kaca ke kantor naik KRL. Harus sembunyi-sembunyi mompa ASI di balik meja karena memang kantor saya waktu itu belum punya nursery.

Saya ingat ketika pekerjaan mengharuskan ada aktivitas outdoor seharian, saya harus tetap memanage ASIP dan hanya mengandalkan 2 balok ice cube karena gak nemu kulkas. Buru-buru pulang demi kualitas ASIP tetap terjaga.

Ketika sudah resign dari kantor dan full mengurus Rumi, tantangan paling terasa ya ketika Rumi minta menyusu di tempat-tempat umum.

Saya ingat sering harus cari tempat persembunyian untuk menyusui, karena ga semua tempat punya nursery yg proper. Paling sedih itu waktu lagi belanja bulanan di sebuah mall, Rumi rewel minta nenen, nangis tak berhenti jadi terpaksa saya ngumpet di lorong yang cukup sepi karena tokonya tutup, saya duduk melantai, menghadap tembok dan menyusuinya. Ada sih beberapa orang yg lewat, melihat, biarlah.. Saya harus pasang muka tembok demi anak. Yang penting gak ngumbar aurat. Itulah sebabnya alat bantu seperti apron menyusui tak pernah ketinggalan dibawa kemanapun.

Menginjak usia 2 tahun, kami berniat menyapih Rumi dengan metode #weaningwithlove.

Kenapa disapih?
Supaya dia lebih mandiri.
Supaya pola makannya lebih baik lagi.
Supaya gak nyusu sepanjang malam jadi pencernaannya bisa istirahat.
Supaya bisa bersosialisasi lebih baik.
Supaya bisa belajar hal baru.
Supaya kuat dan berani.

Karena ASI sudah seperti candu baginya, dikit-dikit minta nenen. Sudah bukan kebutuhan utama dan lebih kepada rasa nyaman dan ngempeng aja. Produksi ASI saya pun sudah berkurang jauh, jadi rasanya sering sakit dan sudah tidak nyaman lagi bagi saya untuk tetap menyusuinya.

Target lepas ASI di bulan Januari 2019, tapi usaha kami gagal karena hati belum mantap dan mental belum kuat menghadapi tantrumnya. Bulan Maret 2019, Rumi harus dirawat karena DBD dan akhirnya jadwal sapih pun mundur lagi.

Menjelang Ramadhan, target kami adalah Rumi sudah lepas ASI di bulan Ramadhan supaya saya bisa lebih nyaman berpuasa, Rumi juga bisa belajar mandiri.

Mengurangi frekuensi menyusu bertahap, lalu mulai benar-benar berhenti menyusuinya di tanggal 3 Mei 2019. Tantrum? Pastinya. Kami melewati malam-malam dimana dia terbangun tengah malam, ngamuk minta disusui, tapi sudah tidak saya kasih lagi. Kami terus menerus memberinya pengertian dan sounding dengan kalimat positif.

"Rumi sudah besar sayang.
Maafin Mama, kalau Rumi haus kita minum air putih atau susu ya?
Kita belajar sama-sama ya.
Rumi sudah besar, sudah gak perlu nenen lagi.
Mama sayang Rumi."

Menyusui adalah momen yang penting, krusial dan lekang dalam hati dan pikiran saya. Suka dukanya mendewasakan saya. Saya bersyukur masih diberi nikmat menyusui selama 2 tahun 4 bulan. Saya bersyukur Rumi tumbuh sehat dan ceria.

Berhenti menyusui adalah momen patah hati bukan hanya bagi Rumi, tapi bagi saya. Ini proses yang harus dijalani untuk tumbuh lebih baik lagi.

Ternyata rasanya sepedih ini, sesedih ini, melepaskan sesuatu yg bisa memberi Rumi kenyamanan selama hidupnya.

Terima kasih Rumi. Karena Rumi, Mama jadi belajar banyak tentang bagaimana menjadi seorang Ibu. Yuk kita belajar lagi hal yang baru, walaupun gak minum ASI lagi tapi seluruh jiwa raga ini akan selalu siap sedia untukmu.

Tangan ini siap menggandeng dan membelaimu..
Telinga ini siap mendengarmu..
Hati ini selalu terbuka untukmu..
Mata ini akan selalu menjagamu..

Semoga Allah selalu melindungimu, menjagamu dan menyempurnakan tumbuh kembangmu.

Mama menyusuimu karena cinta, dan Mama menyapihmu karena cinta juga.

I love you.



Wednesday, May 16, 2018

Belajar Ikhlas

Kebaikan kepada manusia belum tentu berbalas kebaikan pula.
Tapi kebaikan kepada Allah, pasti tercatat sebagai pahala.

Amal baik dan buruk walau sekecil apapun tidak akan ada yang luput terhitung, karena Roqib dan Aatid tidak pernah absen.

Coba dihitung lagi dan syukuri nikmat yang kita terima. Pastilah nikmat Allah terlalu banyak, terlalu luas dan tak akan pernah selesai hitungannya. 

Bersyukur dan merasa cukup adalah upaya kita supaya ikhlas.

Orang kaya sebenarnya bukanlah mereka yang banyak hartanya, tapi mereka yang selalu merasa cukup.

Penghargaan terbaik bukanlah dari manusia. Penghargaan sesungguhnya datangnya dari Sang Maha Kaya.

This statement is dedicated as lesson learned of this week, just for myself....







Tuesday, March 20, 2018

Prioritas dan Pilihan

Gambar dari Google, bukan punya saya


Sejak akhir bulan Februari, kami sekeluarga diuji lagi oleh Allah. Rumi putriku sakit mulai dari radang tenggorokan, batu pilek, sampai alergi bentol sebadan yang masih belum diketahui dari mana pemicunya.

Rumi kehilangan nafsu makan drastis, sehari mungkin hanya masuk 4 sendok makanan.Tapi layaknya balita, dia tetap ceria dan main tak ada habisnya. Alhamdulillah saya masih diberi kemampuan untuk menyusui di usia Rumi yang menginjak 15 bulan, langsung maupun tidak langsung. Jadi setidaknya Rumi masih dapat asupan nutrisi dari ASI.

Setelah bolak-balik berobat ke Dokter, Alhamdulillah kondisi Rumi membaik. Saat ini Rumi masih suka pilah-pilih makanan, tapi setidaknya sudah lebih banyak yang masuk dibanding sebelumnya. Kami masih lanjutkan pengobatan sesuai anjuran dokter. Semoga ke depannya, Rumi bisa kembali sehat seperti sedia kala. Aamiiin Yaa Rabbal Alaamiiin.

Karena kondisi anak sakit, absensi saya di kantor pun kena imbasnya. Kadang capek dan malu sendiri harus bolak balik minta izin sama atasan. Alhamdulillah, atasan saya ini adalah termasuk orang-orang paling bijaksana yang pernah saya kenal. Walaupun mungkin ada juga yang melihat "kelakuan" saya di kantor, yang sering izin datang siang atau tidak masuk kerja, kemudian nyinyir..  "Enak banget dia bisa kerja seenak udelnya, sementara kita harus datang pagi." Yaah, pasti ada laah yang begitu walaupun bukan di depan saya ngomongnya.

Tapi ngomong-ngomong soal nyinyir atau julid (kata anak jaman now), apapun yang kita lakukan,  baik buruknya pasti ada aja kok yang gak suka dan kemudian nyinyir. Kalo saya pun tetap disiplin di kantor sementara anak sakit di rumah,  tetangga yang mulai nyinyir, "Ibunya kemana? Kerja? Lagi sakit kok ditinggal?"

Saya percaya dalam setiap kondisi, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup. Saya dan suami memilih untuk punya anak, artinya kami berani memilih untuk bertanggung jawab seumur hidup.

Saya masih bekerja dan menitipkan anak pada ibu mertua dan kadang ibu saya sendiri. Kedua neneknya itu bergantian mengasuh Rumi, itulah mengapa saya memilih untuk tinggal dekat dengan ibu saya. Berhasil untuk sementara ini, tapi makin berjalannya waktu supporting system saya dalam pengasuhan Rumi mulai njomplang.

Saya sadar, kedua ibu saya ini punya tanggung jawabnya masing-masing. Masih punya kegiatan dan aktivitas yang menunggu untuk diselesaikan. Ora iso kalau harus stay di rumah terus untuk jagain cucu.

Hello, Rumi is my child. My daughter.
Salah kalau saya marah atau kecewa pada kedua ibu saya yang sering gak ada waktu jaga Rumi yang artinya saya harus izin ngantor lagi. Again and again.

Saya maklum pada kedua ibu saya, karena jagain anak balita di rumah itu gak sesimpel kalimatnya. Kerjanya literally jungkir balik, mulai dari masak, nyuapin, mandiin, bebenah, ngelonin, ngedidik, ngajak main, kadang kaki ga sengaja nginjek lego atau kadang ke toilet ga bisa nutup pintu karena sambil diliatin dan ditungguin bocah. Yang paling gak boleh dilupakan, dalam segala aktivitas di rumah, kita harus terus menanamkan nilai-nilai baik mulai dari baca doa sebelum makan, sampai jadi orang penyabar ketika kartunnya dipotong iklan dia gak boleh ngamuk.

Some people say, "Cari pengasuh dong!"

Oh No, Big No No.
Selain karena biayanya terlalu mahal, ga ada jaminan khusus pengasuh bakalan 100% care sama anak kita. Gak keitung lagi kasus pengasuh jahatin anak majikan. Oh No, better not than be sorry.

Some people say (lagi) "Yah, wanita itu emang fitrahnya jadi ibu gak usah ngeluh laah. Kalo mau jadi ibu bekerja itu ya emang pasti ada double burden.

Hmm, saya agak kurang setuju sih kalo dibilang double burdens. Disitu ada kata burden.
Burden = Beban.

My child is not a burden. Anak bagi saya sama sekali bukan beban. Anak adalah generasi penerus kami. Dititipkan Allah kepada saya mulai dari dia tumbuh di rahim saya, lahir ke dunia dan sampai seumur hidup kami nanti wajib menyayangi dia. Kami bahkan berdoa siang malam untuk diberi anak. Tentu dalam hal ini kami bukan meminta apa yang mereka sebut beban. Kami minta keturunan dan kebahagiaan.

Anak adalah penyejuk hati kami dan pemberi cahaya di keluarga kami. Suka dukanya dalam mengurus anak itu adalah bentuk tanggung jawab dan cinta kami, ladang pahala dan abdi kami sebagai orang tua. Tugas utama.

Seperti yang saya sebut di atas, hidup adalah pilihan. Jadi apa pilihan saya?
Saya memilih untuk meninggalkan pekerjaan saya di kantor untuk bekerja di rumah.

And again people say, "Sayang banget lo ninggalin kerjaan, terus di rumah doang."

Then, let people say what they want to say.

It's 2018 and you can do anything via internet and phone calls. Teknologi sudah maju, Buuu. Stay at home gak berarti kita gak bisa earn money. Gak percaya? Sok atuh google sendiri kerjaan apa aja yang bisa dikerjain dari rumah. Lagian cari nafkah itu kewajiban suami lho, Bu. Suaminya kerja gak Bu?

Bagaimana menentukan pilihan adalah tentang prioritas. Sejak saya hamil dan melahirkan, prioritas saya switch 180 derajat. Pikiran saya adalah tentang anak saya dan kesejahteraannya. Prioritas tiap orang bisa saja berbeda. Tapi kalau pilihanku tak sama denganmu, setidaknya saling menghormati saja,  gak usah nyinyir ya buu.

Diketik diatas gerbong kereta KRL Commuter Line Bekasi-Manggarai. 20 Maret 2018.



© Sally Ayumi
Maira Gall